Friday, March 3, 2017

Tugas Manajemen SDM Pertemuan Pertama #1


Saya bekerja di perusahaan Otomotif asal Jepang. Mulai bulan Maret sampai akhir tahun kami dituntut untuk bisa memenuhi target order dari buyer dengan ancaman kalau akhir tahun ini tidak bisa penuhi target maka penilaian performance dari buyer buruk sehingga perusahaan tidak akan mendapat order. Hal itulah yang mendasari kenapa sekarang perusahaan mewajibkan untuk lembur, namun dengan syarat yang memberatkan yakni harus bekerja full tanpa cuti apapun karena cuti tahunan digunakan pada saat Lebaran dan Libur akhir taun, tetapi karyawan di wajibkan masuk pada saat waktu tersebut karena perusahaan harus menuhi order part export dari perusahaan induk di Jepang yang sedang melaksanakan libur musim panas dan akhir tahun. Apakah perusahaan berhak memaksa lembur dengan syarat tertentu? Karena apabila tidak melaksanakan kerja lembur pekerja akan mendapat tak sangsi sosial dari atasan (diskriminasi).



Tentang Lembur 
Pertama, kami ingin menjelaskan bahwa lembur dapat terjadi atas kesepakatan antara karyawan/buruh dan perusahaan. Hal ini terdapat dalam Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi:

(1)  Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a.    ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.    waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Hal serupa juga diatur dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur:

Pasal 6
(1)  Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2)  Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.
(3)  Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.

Ini berarti jika Anda tidak setuju dengan pengaturan mengenai lembur yang diberikan oleh perusahaan, Anda mempunyai hak untuk tidak bekerja lembur sebagaimana yang ditetapkan oleh perusahaan.

Tentang Cuti
Mengenai peraturan bahwa karyawan harus bekerja full tanpa cuti apapun, hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Bahkan UU Ketenagakerjaan juga memperinci waktu istirahat dan cuti yang wajib diberikan oleh perusahaan, yaitu waktu istirahat dan cuti meliputi:[1]
a.    istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b.    istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.    cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d.    istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Mengenai cuti tahunan memang diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2] Akan tetapi, ketentuan di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan[3], yang berarti bahwa cuti tersebut memang harus diberikan dan tidak boleh dibatasi oleh perusahaan.

Menurut saya,
Lembur dapat terjadi atas kesepakatan antara karyawan/buruh dan perusahaan. Jika Anda tidak ingin lembur, maka pengusaha tidak dapat memaksa Anda. Kemudian terkait cuti dan tunjangan, cuti adalah hak dari pekerja yang tidak boleh dihilangkan oleh pengusaha. 


0 comments:

Post a Comment