BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan
Etika dalam Ekonomi
Belakangna
ini banyak kita dengar mengenai beberapa produk yang ada di pasaran saat ini
mengandung bahan bebaya dan tidak layak konsumsi. Kita semua dikejutkan dengan
pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan
terasi dengan bahan yang sudah berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan
sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia
melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis,
satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang
saham. Harus diakui, kepentingan utama ekonomi adalah menghasilkan keuntungan
maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang
berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa
meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel
sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam ekonomi .
Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi ekonomi melihat adanya
hubungan sinergis antara etika dan laba. Doug Lennick dan Fred
Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis bukuMoral Intelligence,
berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin
yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses
dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman,
2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci
utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh
integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita
merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua
hal berbeda. Memang beretika dalam ekonomi tidak akan memberi keuntungan
segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi ekonomi harus belajar untuk
berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan
pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu
meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia.Sebuah studi selama
dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri
dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries,
Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan
produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning
per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin
kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
Praktik
Ekonomi Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai
praktik ekonomi yang dijalankan selama ini masih cenderung
mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis
tidak terpuji atau moral hazard.Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan
sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni
Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik
dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita
telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai
tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok
untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman,
implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku
ekonomi/bisnis dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika ekonomi,
terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi
syariah selama ini masih cenderung pada sisi “emosional” saja dan terkadang
mengkesampingkan konteks ekonomi itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi
syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah.
Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak “mengenal” sistem syariah,
namun potensinya cukup tinggi. Terhadappengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang
sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat
bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu
relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum
pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di
negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati
hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara
batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral
adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum
adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan.
Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahamimasalah etika dan moral
di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah
hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan
antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan
moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai
issal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati
dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya,
maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah
penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran
hak asasi manusia.
BAB II
EKONOMI DENGAN ETIKA
Epistemologi
Etika Ekonomi
Etika
penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki
makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang
memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang
memiliki etika ekonomi pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral
yang baik. Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan santun)
berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara
pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari
bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar
dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama. Jika kata etika dikaitkan dengan
kata bisnis akan menjadi Etika Ekonomi. Kata
etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah
tertentu, sepert etika kedokteran, etika ekonomi, etika profesional (advokat,
akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika sebagai objek perilaku
manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagaiaturan-aturan
yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik
(good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip pada kata-kata baik dan
buruk, yang berarti menekankan bahwapenentuan baik dan buruk adalah suatu
masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer membuat tentang
pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah keputusan secara individual, yang
menimbulkan konskuensi. Keputusan ini merefleksikan banyak faktor, termasuk
moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat.
Secara
sederhana etika ekonomi dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang
tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari
etika Ekonomi dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.
Etika ekonomi sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari
elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Ekonomi tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang
maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain
(Dalimunthe, 2004). Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara
bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip dari mana ”ethics”
berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan
keduanya artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals)
berbeda dari etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu
elemenelemen normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari (inevitable
normativeelements). Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak
hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan
dipercaya. Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik
dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values) adalah standar
kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis
dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian, pelaku bisnis menggunakan
nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah mereka menyadarinya
atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas
mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara
kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan
realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.
Etika
Ekonomi: Suatu Kerangka Global
Masalah etika dalam
ekonomi dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap (Bribery),
Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft), Diskriminasi
tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masing-masing
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Suap
(Bribery), adalah tindakan berupa
menawarkan, memberi, menerima, atau meminta
sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam
melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang
dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan
membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun pembayaran kembali' setelah
transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau
penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai
cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai
suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah.
2.
Paksaan
(Coercion), adalah
tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau
ancaman.Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan,
pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
3.
Penipuan
(Deception), adalah
tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau
melakukan kebohongan.
4.
Pencurian
(Theft), adalah
merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil
property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat
berupa property fisik atau konseptual.
5.
Diskriminasi
tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang
tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama.
Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya
perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai' dan tidak.
Sistem Ekonomi Pancasila (SEP)
Gagasan ekonom Prof.
Mubyarto (UGM) sekitar tahun 1980-an. Sebutan
SEP sudah dilontarkan sebelumnya oleh Prof. Emil Salim (UI) sekitar tahun 1966
PERBANDINGAN SEP
SILA
|
Emil
Salim
|
Mubyarto
|
Sumitro
Djojohadikusumo
|
I
|
Mengenal
Etika & Moral Agama
|
Roda
perekonomian digerakkan rangsangan ekonomi, sosial, & moral
|
Berupaya
senantiasa dekat dengan Tuhan dengan ibadah
|
II
|
Titik
berat pada nuansa manusiawi dalam menggalang hub. Ekonomi dlm perkemb.
masyarakat
|
Ada
kehendak kuat dari masyarakat untuk mewujudkan pemerataan sosial
(egalitarian)
|
Berupaya
mengurangi & memberantas kemiskinan dlm penataan ekonomi masyarakat
|
III
|
Membuka
kesempatan ekonomi secara adil bagi semua
|
Nasionalisme
menjiwai setiap kebijakan ekonomi
|
Pola
kebijakan ekonomi & cara penyelenggaraannya tdk menimbulkan kekuatan yg
menggangu persatuan bangsa
|
IV
|
Bermuara
pada pelaksanaan demokrasi ekonomi & politik
|
Koperasi
merupakan sokoguru perekonomian & bentuk konkret usaha bersama
|
Rakyat
berperan & berpartisipasi aktif dalam usaha pembangunan
|
V
|
Memberi
warna egalitarian &social equitydlm proses pembangunan
|
Imbangan
yg tegas antara perencanaan di tingkat nasional & desentralisasi
|
Pola
pembagian hasil produksi lebih merata antar golongan, daerah, kota-desa.
|
Pentingnya Etika dalam Dunia Ekonomi
Perubahan
perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi
dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam
ekonomi tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan
tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau
sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah
menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia ekonomi
tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin
meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan
masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan
suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika ekonomi.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu ekonomi tunduk pada norma-norma yang
ada pada masyarakat. Tata hubungan ekonomi dan masyarakat yang tidak bisa
dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya,
baik etika itu antara sesama pelaku ekonomi maupun etika ekonomi terhadap
masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. Dengan memetakan pola
hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika
bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini
tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang
terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah
berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya
etika ekonomi . Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu
jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan
hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya,
ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan,
karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian
yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi
pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh.
Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar
internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat
protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan
kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.
Perilaku
etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam
sebuah ekonomi.
Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup
makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market
system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command
system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa
kondisi yang diperlukan market system untuk
dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b) Kebebasan
memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi
yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market
system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan
mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro. Pengaruh
dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih
dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang
efektif antara pelaku bis nis dengan ancaman
atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination.
2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan
kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi
di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan
bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting
dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari
hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.
Standar moral merupakan tolok ukur etika ekonomi. Dimensi etik
merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika ekonomi cenderung
berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat
digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1)
Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep
etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan
keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi
(dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of
Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturanyang
digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan
berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak,yaitu menjamin
hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak
saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip
Keadilan, yaitu keadilan
yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan
kesamaan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan
distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan
alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok
sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannyaterhadap benefit. Benefit terdiri
dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu
luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social;
(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang
terkait dengan retribution(gantirugi) dan hukuman atas kesalahan
tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas
tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas
paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu
keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan.
Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan
dan barang penebus kerugian.
Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian,
misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu
pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai
rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota
suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam ekonomi
sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis
serta kelompok yang terkait lainnya. dalam
hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berekonomi perlu pembicaraan yang
transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun
bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara
pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak
terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika,
jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa
diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam
berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain
tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan
yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian. Dalam
menciptakan etika ekonomi, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Pengendalian
Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka
masingmasing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk
apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan
tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis,
tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.
Inilah etika bisnis yang "etik".
2.
Pengembangan
Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku ekonomi disini dituntut untuk peduli dengan keadaan
masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan
sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan
yang dimiliki oleh pelaku bisnisuntuk menjual pada tingkat harga yang tinggi
sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi
pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan
yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis
harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap
masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian
terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan,
pemberian latihan keterampilan, dll.
3.
Mempertahankan
Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing
oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha
menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti
perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak
kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan
teknologi.
4.
Menciptakan
Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi
dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan
sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku ekonomi besar dan
golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar
mampu memberikanspread effect terhadap perkembangan sekitarnya.
Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang
seimbang dalam dunia ekonomi tersebut.
5.
Menerapkan
Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada
saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan
ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan
dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan
lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan
kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6.
Menghindari
Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini,
kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi,
manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun
berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7.
Mampu
Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk
menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan
menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan
"kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk
mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi"kepada pihak yang
terkait.
8.
Menumbuhkan
Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus
ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan
pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan
pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu
hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan
kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia
bisnis.
9.
Konsekuen
dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat
terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika
tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara
ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba
untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua
konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan
rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha
menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas
semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum
positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin
kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi"
terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral
dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan
dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan
globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia
bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu
akan dapat diatasi. Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa
mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang
sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati.
Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi
rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu
berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak
menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri,
toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket
bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa
saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan
citra pribadi dan perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika ekonomi adalah
menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku ekonomi. Etika
ekonomi menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip
dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa
berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan
ekonomi yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur,
pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan
tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri
untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi.
BAB III
P E N U T U P
1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang
berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari
perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai
aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat
sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik dan buruk
adalah suatu masalah selalu berubah.
2. Etika ekonomi adalah standar-standar
nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam
pengambilan keputusan dan mengoperasikan ekonomi yang etik.
3. Paradigma etika dan ekonomi adalah dunia yang
berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan ekonomi
atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat
ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika ekonomi merupakan
sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena
itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang
dalam sebuah bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir,
Revrisond. 2006. Etika Ekonomi. Dalam Kompas Senin, Penerbit PT Gramedia,
Jakarta.
Buchholtz, R.A and S. B.
Rosenthal. 1998. Business Ethics. Upper Saddle River,
N.J.: Prentice Hall.
Dalimunthe,
Rita F. 2004. Etika Ekonomi. Dalam Website Google: Etika Ekonomi
danPengembangan Iptek.
DeGeorge,
R. 2005. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th ed.
Echols, John M and
Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT
Gramedia, Jakarta.
Resource : http://editfhotokeren.blogspot.com/2011/03/etika-dalam-ekonomi.html